Satu hari menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia, IAIN Kediri secara resmi menambah guru besar ketujuh. Rektor IAIN Kediri, Wahidul Anam mengukuhkan Prof. Sardjuningsih sebagai guru besar dalam bidang ilmu Sosiologi Agama pada prosesi yang digelar di Auditorium Perpustakaan Lantai IV IAIN Kediri pada Rabu (16/08/2023).
Pada prosesi pengukuhan tersebut, Prof. Sardju mengorasikan komodifikasi agama yang secara spesifik membahas idealitas dan realitas dalam analisis teori symbolic interpretatif.
Prof. Sardju menyebut bahwa komodifikasi agama tidak hanya pada agama Islam saja, namun semua agama. Dalam bahasan komodifikasi Islam, hal ini terjadi karena pada awalnya merupakan respon atas modernisasi yang membuahkan sekulerisme. Tujuannya sendiri adalah untuk membumikan Islam dalam muamalah dengan fenomena euphoria keagamaan.
“Komodifikasi Islam merupakan respon fenomena sosial dengan reason masing-masing, antara lain lahirnya lembaga keuangan syariat, peraturan daerah yang diberi cover syariah, munculnya partai politik dengan menggunakan simbol Islam, proyek sertifikasi halal berbagai macam produk, busana muslim yang menjadi ikon fenomenal kebudayaan Islam, lahirnya lembaga pendidikan Islam, serta dakwah Islam pada platform online dan offline,” jelas Prof. Sardju.
Prof. Sardju melanjutkan bahwasanya komodifikasi Islam dalam lembaga-lembaga tertentu dalam proses perjalanannya mengalami anomali, tidak selalu lurus antara cita ideal dengan realitas.
“Teori symbolic interpretatif itu mengatakan bahwa antara idealitas dengan realitas itu seringkali tidak sinkron. Kenapa tidak sinkron? Karena tujuan awal itu berbelok. Dan itu kebanyakan, bahwa pembelokan ini tidak lain karena pengaruh ekonomi dan kekuasaan,” tuturnya.
Di IAIN Kediri, Prof. Sardju merupakan guru besar pertama dalam bidang sosiologi agama. Rektor IAIN Kediri, Wahidul Anam menyampaikan bahwa bidang ilmu sosiologi agama yang didalami oleh Prof. Sardju merupakan rumpun ilmu yang penting terutama di negara yang serba pluralistik.
“Dalam praktik keagamannya orang menafsirkan dengan berbeda beda. Dialektika antara teks dan realitas selalu akan berkembang sepanjang zaman. Di sinilah posisi sosiologi agama mempunyai peran yang luar biasa. Bagaimana menerjemahkan agama di realitas yang plural dalam masyarakat yang punya budaya dan suku yang berbeda-beda,” ujar Wahidul Anam.
Gelar yang diperoleh oleh Prof. Sardju ini tidaklah diraih dengan mudah. Banyak tantangan yang dihadapi dalam prosesnya. Namun Prof. Sardju selalu berpegang teguh pada nasihat kedua orang tuanya yang telah almarhum.
“Saya bisa di sini karena treatment orang tua saya, karena ajaran orang tua saya. Orang tua saya mengajarkan kepada saya ojo gampang cilik ati (red: jangan gampang berkecil hati). Nek nduwe karep kudu obah (red: kalau punya keinginan maka harus bergerak),” tutur Prof. Sardju dengan mata berkaca-kaca.
“Pesan orang tua saya ini mengajarkan saya untuk selalu berbesar hati dan selalu bekerja keras karena kami bukan dari kalangan orang berada,” imbuhnya.
Nampaknya, hal inilah yang mengantar Prof. Sardju meraih gelar tertinggi di bidang akademik ini. Kegigihan dan tekadnya selama proses menuju guru besar tidak mudah dipatahkan karena pesan orang tuanya tersebut.