FUDA Newsroom – Senin, 22/7/2024, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah (FUDA) IAIN Kediri kembali melangsungkan diskusi rutin bertajuk “Tafsir Sufistik atas Penciptaan Adam dan Pembangkangan Iblis”. Diskusi yang bertempat di Musolla FUDA ini menghadirkan Robingatun sebagai pembicara dan Umar Faruq sebagai pembanding. Keduanya merupakan dosen IAIN Kediri dengan fakultas yang berbeda. Robingatun adalah dosen senior Fakultas Ushuluddin dan Dakwah sedangkan Umar Faruq adalah dosen Fakultas Tarbiyah, sehingga diskusi yang terjadi bersifat multidisiplin dan banyak menghadirkan perbedaan perspektif. Tema yang menjadi isu sentral diskusi berasal dari disertasi yang ditulis oleh Robingatun dan sudah dipertahankan di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung pada tahun 2021.
Menurut Zuhri Humaidi selaku pengelola diskusi, kajian yang berangkat dari disertasi ini adalah upaya untuk mendiseminasikan karya serius yang sudah ditulis oleh dosen. “Mereka (dosen) sudah menulis disertasi dengan tekun dan berdarah-darah. Sia-sia kalau hasil penelitian tersebut hanya menumpuk di rak perpustakaan dan menjadi kerak sejarah. Kita punya tugas untuk mengangkatnya menjadi bahan diskursus dalam percakapan intelektual di kampus. Di Eropa Barat dan Amerika Utara, disertasi sudah jadi semacam manifesto intelektual yang mempengaruhi perjalanan akademik seseorang. Di kampus kita belum seperti itu, nah kita inginnya ke sana”, tuturnya.
Dalam presentasinya, Robingatun menyampaikan bahwa tafsir al-Hallaj atas kisah Adam dan iblis merupakan alternatif dari tafsir ortodoks selama ini. Dalam narasi kisah penciptaan, Iblis diyakini sebagai makhluk yang membangkang perintah Allah untuk sujud kepada Nabi Adam. “Pada mulanya dia adalah hamba yang taat, tetapi kemudian dia dikutuk dan mendeklarasikan diri sebagai musuh abadi manusia. Nah, inilah menariknya pemikiran al-Hallaj dan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), mereka menawarkan perspektif yang lain tentang drama kosmis tersebut”, tuturnya.
Lebih jauh Wakil Dekan I FUDA mengatakan, al-Hallaj memahami iblis sebagai penganut tauhid yang sejati karenanya dia menolak sujud kepada Adam. Sujud hanya patut dilakukan pada Tuhan, bukan pada manusia. Iblis menjalani taqdirnya sebagai makhluk pembangkang dan menjadi contoh abadi dari kejahatan dan keburukan. Sisi yang harus ada dalam hukum kepasangan semesta, yakni kebaikan dan kejahatan. Sedangkan sosok Cak Nun menjadi menarik karena dia mengartikulasikan kembali pemikiran al-Hallaj dan menariknya dalam konteks sekarang. “kalau kita ikuti tulisan dan pengajian Cak Nun, pemikiran semacam ini menjadi menarik dan relevan untuk konteks saat ini. Hampir-hampir tidak ada kritik terhadapnya. Itu artinya pemikiran al-Hallaj yang semula ditentang, di tangan Cak Nun lebih bisa diterima masyarakat luas. Karena itu, saya menyebut Cak Nun sebagai Neo-Hallajiyan”.
Pada kesempatan tersebut, Faruq sebagai pembanding menentang tegas pandangan al-Hallaj. Menurutnya pemikiran semacam itu jelas bertentangan dengan teks al-Qur’an dan Hadis. Mayoritas ulama sudah menjelaskan iblis sebagai makhluk terkutuk. “Pemikiran al-Hallaj ini hanya didasarkan pada khayyal (hayalan) saja. Ini berbahaya kalau kita yakini. Bisa mengganggu jalinan ortodoksi yang sudah dibangun para ulama. Memahami agama tidak boleh hanya dengan akal saja. Semuanya harus merujuk pada teks”, ujarnya.
Acara diikuti oleh sekitar 50 peserta. Hadir pula para dosen senior seperti Asror Yusuf, Sardjuningsih, Zainal Arifin, Qomarul Huda, Ilham Tohari, dan lain-lain. Halil Thahir selaku Dekan FUDA menyebut perlunya pengayaan perspektif untuk memahami ajaran-ajaran agama yang dianggap sudah mapan. “Apa yang dilakukan oleh al-Hallaj, Cak Nun, Bu Robing, dan Pak Faruq tersebut pada dasarnya adalah tafsir. Bukan agama itu sendiri. Pemegang kebenaran hakiki hanyalah Allah SWT. Itu prinsip yang harus kita pegang sebagai akademisi”, pungkasnya.
Sumber : Humas Fak. Ushuluddin dan Dakwah IAIN Kediri
Kontributor : Zuhri Humaidi
Editor : Fuat Hasan