Mengapa Berburu Gelar Doktor dan Profesor?

Oleh: Dr. Zuhri Humaidi, M.S.I.

(Kaprodi Aqidah dan Filsafat Islam FUDA IAIN Kediri)

 

Saya tidak berminat membahas kejanggalan-kejanggalan di balik gelar doktor yang diberikan pada Bahlil Lahadalia kemarin. Investigasi kabarnya sudah dilakukan oleh Majelis Guru Besar UI, sebuah lembaga yang tentunya punya akses untuk menyelidiki kasus tersebut dan menjelaskannya pada publik. Kita tunggu saja hasilnya. Meskipun kesimpulan investigasinya bisa saja bertolak-belakang dg harapan banyak orang. Karena tanpa berpijak pada landasan etis, aturan-aturan formal apapun bisa disiasati. Yang justru mengherankan kita, kenapa orang-orang seperti Bahlil, yang sudah berdiri di puncak kekuasaan politik, uang, dan koneksi masih perlu gelar doktor dan professor, baik lewat jenjang formal maupun pemberian cuma-cuma (honoris causa)?

 

Untuk menjawab itu, mari kita pinjam perspektif Pramoedya Ananta Toer terlebih dahulu. Ketika menerima penghargaan Magsaysay di Filipina pada tahun 1995, Pram menyinggung bagaimana mitos Nyai Roro Kidul tercipta. Menurutnya, dua kali Sultan Agung menyerang Batavia pada tahun 1628 dan 1629, dua kali pula serangan tersebut gagal. Kegagalan yang menyebabkan konsekuensi serius secara politik, ekonomi, budaya, dan lebih dalam lagi pada tatanan kosmologi masyarakat Jawa. Selama Sultan Agung berkuasa, keraton memang masih berdaulat penuh, tetapi wilayah pesisir utara Jawa yang kaya, pusat perdagangan, rantai koneksi global, dan lumbung padi lepas dari kekuasaan Mataram. Sultan Agung sendiri tidak lagi terobsesi untuk membangun armada milter dan perdagangan ekonomi yang tangguh, tapi kembali memperkuat tradisi Jawa dan Islam yang adihulung. Dari dunia yang dinamis dan penuh pergolakan, balik ke dunia yang harmonis dan mistik.

 

Para penulis dan pujangga Keraton, terutama pasca Sultan Agung, kemudian menciptakan mitos baru tentang Nyai Roro Kidul, penguasa laut Selatan yang kuat dan berjaya, yang menjaga Keraton Mataram dan menjadikan raja-raja Mataram sebagai suaminya. Pesisir utara boleh lepas, tapi laut Selatan tidak akan bisa dijamah oleh siapapun, karena ia adalah pusat kosmologi Jawa yang merentang ke utara: Keraton dan Merapi. Padahal siapapun tahu, pada waktu itu laut Selatan adalah wilayah yang tidak produktif. Hanya dihuni oleh nelayan-nelayan kecil yang mencari ikan di tepian Pantai yang sepi.

 

Persisnya, mitos tentang Nyai Roro Kidul adalah kompensasi dari kekalahan Keraton Mataram menyerang Batavia. Para priyayi Jawa, kata Nirwan A. Arsuka, memberi penyelesaian atas krisis kekuasaan bukan dengan membereskan krisis yang terbentang di luar sana, tapi dengan kembali ke dunia dalam: nembang, menjaga kehalusan budi dalam tatanan dunia yang harmonis. Kalah di medan perang, lalu sebagai kompensasinya lari ke dunia simbolik dan memenangkannya.

 

Setelah Sultan Agung, kekuasaan Mataram semakin kecil. Raja-rajanya sebagian hanya jadi boneka Belanda. Lalu muncullah pertaruhan simbolik kedua. Ketika kekuasaan Mataram hanya meliputi wilayah Yogyakarta dan Surakarta, itupun masih dipecah dalam empat keraton kecil, muncullah gelar-gelar baru yang ”aneh-aneh”: Hamengkubuwono (yang memangku dunia), Pakualam (pakunya alam), Pakubuwono (pakunya dunia), Mangkunegara (yang memangku negara). Lalu di manakah alam, dunia, tanah, dan negara Jawa yang luas dan subur? Sebagian besar sudah hilang direbut Belanda. Dengan kata lain, gelar-gelar yang “memaku dan memangku dunia” itu adalah kompesasi simbolik dari hilangnya wilayah kekuasaan yang luas.

 

Lalu apa kaitannya dengan gelar doktor dan profesor? Jika kita setuju dengan kesimpulan M.C. Ricklefs dalam Islamisation and Its Opponents in Java (2012) maka kita bisa mendapat sedikit jawaban. Menurutnya, salah satu unsur konstitutif utama dari apa yang hari ini kita sebut sebagai kebudayaan Indonesia tidak lain adalah budaya Jawa, termasuk nalar priyayinya. Nalar priyayi Jawa adalah sebentuk sikap mental yang menyelesaikan krisis bukan dengan cara menghadapinya secara langsung, dengan seluruh tragedi, luka dan rasa sakitnya, tetapi lari dan balik ke dunia simbolik. Persisnya, gelar doktor dan professor hari-hari ini adalah kompensasi simbolik dari semakin langkanya otoritas keilmuan, integritas moral, nilai kenegarawanan, dan keteguhan seorang pendidik.

 

Tahun 2000, saya menjadi mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga. Setahun berikutnya, Pak Amin Abdullah menjadi rektor. Pada waktu itu beliau sudah dikenal luas sebagai pemikir dan intelektual yang berpengaruh. Tapi seingat saya, jarang sekali mahasiswa maupun koleganya memanggil “prof”, kecuali dalam acara-acara formal. Beliau pun tidak pernah keberatan. Menurut saya jawabannya sederhana: tidak ada kompensasi simbolik apapun yang beliau ingin rebut. Tentu beda halnya dengan spesies seperti Bahlil. Pesisir utara boleh lepas, wilayah kekuasaan boleh kecil, otoritas akademik boleh disiasati, tapi gelar tetap harus “memaku dan memangku dunia”. (Zuhri Humaidi)