DISKUSI DOSEN FUDA IAIN KEDIRI : MENGUAK MITOS DAN FAKTA MENGENAI SYEKH WASIL

 

FUDA NEWSROOM – Fakultas Ushuluddin dan Dakwah (FUDA) IAIN Kediri kembali menggelar Diskusi Dosen dengan tema menarik, “Rekonstruksi Narasi Sejarah Syekh Wasil Syamsuddin”, pada Senin (20/1/2025). Kegiatan ini diadakan di musala lantai I gedung FUDA IAIN Kediri dan menghadirkan dua narasumber terkemuka: Guru Besar Filsafat IAIN Kediri, Prof. Fauzan Saleh, Ph.D., dan Ketua Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Kediri, Imam Mubarok. Kegiatan  ini dihadiri oleh lebih dari 50 peserta, termasuk akademisi IAIN Kediri dan masyarakat umum.

Sosok Syekh Wasil Syamsuddin menjadi topik yang menarik perhatian karena legenda yang melekat pada dirinya di kalangan masyarakat Kediri. Wacana penamaan IAIN Kediri menjadi UIN Syekh Wasil setelah transformasi menjadi Universitas Islam Negeri menambah urgensi untuk mengungkap kebenaran historis tentang sosok ini.

Prof. Fauzan Saleh membuka diskusi dengan mempertanyakan eksistensi historis Syekh Wasil. Menurutnya, sumber otoritatif tentang tokoh ini sangat terbatas, sehingga diperlukan kehati-hatian dalam menelusuri sejarahnya. Prof. Fauzan Saleh mengungkapkan bahwa pada tahun 2023, Pemerintah Kota Kediri melalui program PRODAMAS telah membangun prasasti baru yang menyebutkan bahwa Syekh Wasil adalah utusan dari Istanbul (Turki) yang datang ke Kediri untuk mempelajari budaya dan menjalin hubungan baik dengan Raja Sri Aji Joyoboyo.

Prasasti tersebut didasarkan pada penelitian Habib Mustopo, yang menyimpulkan bahwa Syekh Wasil kemungkinan besar berasal dari Turki dan hidup pada abad ke-12 M, sebelum era Walisongo. Kesimpulan ini didasarkan pada epigraf (tulisan beraksara Jawa) yang ditemukan di kompleks makam Setono Gedong. Namun, sebagian tulisan tersebut telah terhapus atau sengaja dihilangkan, sehingga tahun keberadaan Syekh Wasil menjadi kabur.

Namun, Prof. Fauzan Saleh juga mengungkapkan temuan kontroversial dari Guillot dan Kalus pada tahun 2003. Berdasarkan inskripsi berbahasa Arab di makam Syekh Wasil, keduanya menyimpulkan bahwa sosok yang dimakamkan di sana bukanlah Syekh Wasil, melainkan Ramatillah, ayah dari Sunan Kudus. Ramatillah adalah panglima perang Kerajaan Demak yang gugur dalam pertempuran melawan Majapahit di Kediri sekitar abad ke-16 M. Prof. Fauzan Saleh menambahkan bahwa makam tersebut mungkin bukan kuburan jasad, melainkan monumen.

Meskipun terdapat perbedaan pendapat, Prof. Fauzan Saleh tetap optimis bahwa penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mengungkap kebenaran tentang Syekh Wasil. “Terlebih lagi, dengan rencana penamaan UIN Syekh Wasil, landasan historis yang kuat dan kokoh sangat diperlukan”, tandasnya.

Pemateri kedua, Ketua Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Kediri, Imam Mubarok atau yang akrab disapa Gus Barok, menambahkan perspektif budaya dan sejarah mengenai Syekh Wasil. Dia merujuk pada tulisan Agus Sunyoto yang sejalan dengan penelitian Habib Mustopo, menyatakan bahwa Syekh Wasil hidup sezaman dengan Raja Jayabaya. Hubungan keduanya digambarkan sebagai relasi guru dan murid, sebagaimana tercatat dalam Kakawin Hariwangsa karya Mpu Panuluh.

Menurut Gus Barok, Syekh Wasil datang dari negeri Rum (Turki) dengan misi mendamaikan Kerajaan Jenggala dan Panjalu yang sedang berperang. Setelah misinya berhasil, Syekh Wasil mendapat tempat terhormat di istana dan bahkan menjadi guru spiritual Jayabaya. Mereka bersama-sama mempelajari kitab Musarrar, yang dalam versi lain dikenal sebagai Serat Jongko Joyoboyo.

Gus Barok juga mengakui keterbatasan sumber primer tentang Syekh Wasil. Namun, dia meyakini bahwa sosok ini memang historis. Yang menjadi kekhawatirannya adalah upaya sebagian pihak yang ingin menghancurkan situs-situs bersejarah yang dianggap sebagai warisan Hindu-Buddha, padahal situs tersebut adalah cagar budaya yang harus dilestarikan.

Diskusi semakin hidup ketika memasuki sesi tanya jawab. Beberapa peserta memberikan tanggapan dan perspektif yang beragam. Ada yang menyarankan bahwa pembuktian historis tidak selalu harus mengandalkan bukti empiris, tetapi juga bisa melalui intuisi dan ciri khas dunia Islam. Peserta lain mempertanyakan makna gelar “syekh” yang disandang oleh tokoh ini, mengapa tidak menggunakan gelar lain seperti kiai, sunan, atau sayyid.

Pada akhir acara, muncul resolusi bersama tentang perlunya penelitian lanjutan yang lebih mendalam dan komprehensif mengenai Syekh Wasil. Hal ini diharapkan dapat menjawab teka-teki yang selama ini beredar di dunia akademik dan masyarakat. Dengan demikian, narasi sejarah Syekh Wasil dapat direkonstruksi dengan lebih akurat dan meyakinkan.

Diskusi ini tidak hanya memperkaya wawasan akademis, tetapi juga mengingatkan pentingnya melestarikan warisan sejarah dan budaya sebagai bagian dari identitas bangsa.

 

Sumber : Humas Fak. Ushuluddin dan Dakwah IAIN Kediri

Kontributor : Abdul Mujib

Editor : Fuat Hasan