Kritik Atas Hermeneutika Al-Qur’an: Objektif ataukah Apolegetik?

Oleh: Dr. Fuad Faizi, MA.

(Dosen Studi Agama FUDA IAIN Kediri)

Judul Buku      : Tahafut Hermeneutika Al-Qur’an

Penulis             : Dr. H. Taufiqurrahman, M.Ag

Penerbit           : PT. Nas Media Pustaka

Tahun Terbit   : 2023

Tebal               : 173 halaman

 

     Buku yang ditulis oleh Taufiqurrahman ini berusaha mengupas persoalan dalam pemakaian pendekatan hermeneutik oleh kelompok-kelompok modern untuk menafsirkan Al-Qur’an. Konsep hermeneutik muncul sebagai alat bantu dalam membaca teks al-Qur’an ketika terjadi permasalahan di masyarakat Islam. Pendekatan atau metode hermeneutik sebagai sebuah konsep muncul dan berkembang di dunia Barat. Ia telah dipakai secara luar biasa dalam menafsirkan kitab suci Bibel atau Injil. Atas dasar ini, Dr. Taufiqurrahman berusaha mengulas sejauhmana ia telah dipergunakan di dunia Islam, terutama untuk menafsirkan al-Qur’an, sebagai sebuah upaya untuk menjawab tantangan seputar permasalahan kesetaraan, toleransi, inklusivitas, tanpa diskriminasi, keadilan hukum, dan hak asasi manusia. Namun, penulis menilai pengadopsian hermeneutika itu telah didasari oleh posisi inferioritas dunia Islam dibandingkan Barat sehingga ia berpendapat bahwa ia seringkali tidak sejalan dengan keyakinan dan praktik yang dipegang oleh umat Islam. Padahal, penulis menganggap bahwa dengan memakai (metode) penafsiran al-Qur’an yang berkembang di dunia Islam sendiri telah mampu memberikan jawaban atas persoalan-persoalan di atas tanpa harus meminjam konsep hermeneutik Barat. Hal ini terjadi karena kemajuan peradaban Barat sehingga umat Islam secara latah berusaha meniru dengan memakai metode pemahaman kitab suci yang marak dipakai Barat tersebut dengan harapan peradaban Islam bisa maju juga.

     Buku ini muncul sebagai pembelaan atas keyakinan dan keimanan penulis. Buku ini berpijak pada klaim otentisitas dan kebenaran al-Qur’an, terutama jika dibandingkan dengan Injil (Bibel). Otentisitas al-Qur’an lebih unggul daripada Injil. Al-Qur’an sebagai teks kitab suci (mushaf) dipandang lebih unggul atau superior terlepas dari sejarah tadwin yang mana sebenarnya ada beberapa versi teks al-Qur’an meskipun perbedaannya tidak signifikan. Karena berangkat dari nalar eksklusif (klaim kebenaran berdasarkan keimanan), buku ini lebih melihat perbedaan daripada persamaan. Tahafut atau kontradiksi (salah satu kata yang dipakai dalam judul buku ini) yang dimaksud penulis adalah kontradiksi dengan keimanan (belief) dan keyakinan penulis sebagai seorang Muslim. Di pihak lain, hermeneutik ini adalah sebuah metode atau cara untuk memahami kitab suci yang bersifat profan. Dengan kata lain, dalam buku ini kita akan menjumpai perdebatan antara klaim kebenaran penulis atas tradisi agama yang normatif, dogmatik, dan absolut versus metode hermeneutik yang penuh dengan relativisme dan skeptisisme. Jadi, hermeneutika al-Qur’an itu dianggap penuh kerancuan, kontradiksi, inkonsisten, atau paradoks itu maksudnya rancu dengan klaim kebenaran penulis, bukan rancu atau inkonsisten secara metodologis atau filosofis.

     Menurut penulis, usaha penafsiran itu seharusnya untuk menjelaskan kebenaran al-Qur’an dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan Muslim bukan sebaliknya seperti yang dilakukan oleh beberapa penafsir kontemporer-liberal itu yang ia anngap kurang tepat. Permasalahan sebenarnya dalam usaha penafsiran itu terletak pada perilaku umat Islam yang telah mengakibatkan kemunduran, bukan pada kegiatan penafsiran al-Qur’annya. Nilai-nilai (toleransi, emansipasi, kesetaraan, keadilan dan HAM) yang ingin dihasilkan oleh penafsir kontemporer itu sudah ada dan dipraktikkan pada era Nabi Muhammad (lihat hal. 136). Dengan kata lain, pemakaian hermenutik itu tidak diperlukan.

     Sebenarnya penulis mengakui bahwa perkembangan hermenutik sebagai metode pemahaman terhadap teks itu sudah muncul sejak era Yunani. Namun, penulis sejak awal terkesan mengabaikan akar historisnya itu dan, kemudian, hanya melekatkannya pada tradisi Kristen saja (misalnya lihat hal. 14). Jadi, sebagai disiplin keilmuan, hermeneutik itu muncul sebagai salah satu kajian dalam filsafat Yunani. Sebagai sebuah ilmu pengetahuan ia memiliki elemen-elemen atau unsur-unsur yang universal. Misalnya, bukankah hermeneutika yang menekankan pada aspek grammatikal itu tidak sama dengan metode nahwu atau i’rab yang disusun Abu As’ad Ad-Duali? Bukankah metode hermeneutika historis yang menekankan pada aspek konteks sejarah teks itu sama dengan metode asbabun nuzul dalam ulum al-Qur’an?

     Penulis menolak keras klaim bahwa sebenarnya metode hermeneutik sudah diterapkan dalam tafsir klasik-tradisonal terdahulu. Pemakaian metode hermeneutik itu dilihat hanya sebagai bentuk ke-latah-an saja (lihat hal. 137). Namun, menurut saya, penafsir klasik malah sudah melangkah lebih jauh. Tidak hanya memakai metode hermeneutika tapi ada penafsir klasik yang memposisikan Bibel sebagai sumber yang sah sebagai bahan dalam penafsiran al-Qur’an. Misalnya, Tafsir Quran bil Kitab yang dilakukan oleh (1.) Abd al-Salam b. al-Isbili – Ibn Barraghan [1141 M] dan (2.) Ibrahim b. Umar b. Hasan al-Biqa’i, nama kitab tafsirnya Naẓm al-durar fī tanāsub al-āyāt wa-l-suwar [1480]. Ibn Barraghan dan al-Biqa’i dinilai telah memakai Bibel sebagai salah satu sumber dalam menafsirkan al-Qur’an dan mereka dianggap telah menggunakan hermeneutik secara lihai dalam melihat Bibel dan relasinya dengan al-Qur’an.

     Berulangkali penulis mengatakan bahwa motif pemakaian hermenutik itu karena para penafsir Muslim kontemporer ingin mensejajarkan atau menyamakan al-Qur’an dengan Bibel (misalnya lihat hal. 125 & 126). Namun, penulis tidak memberikan data lebih lanjut mengenai orang atau kelompok yang mengatakan seperti itu agar ia tidak terkesan berupa tuduhan saja. Mungkin ini merupakan kesimpulan subjektif penulis dari hasil kajiannya atas cara dan hasil dari pemakaian hermeneutik yang dipakai dan dikembangkan oleh beberapa penafsir kontemporer yang juga dibahas dalam buku ini.

     Ketika mengkritik penafsir kontemporer yang menekankan bahwa al-Qur’an adalah produk budaya dimana ia diturunkan, penulis berargumen bahwa pemilihan jazirah Arab itu dikarenakan ia punya keunggulan dan dianggap paling sesuai, meskipun alasan-alasan ini sesuatu yang bisa diperdebatkan (lihat hal.128-9). Penjelasan kenapa Islam turunnya di Arab bukan di wilayah lain itu diuraikan penulis menjadi enam alasan. Yang jelas alasan-alasan ini bukan dari Tuhan sehingga ia masih bisa diperdebatkan secara akademis dengan bukti-bukti dan fakta-fakta kesejarahan yang ada. Sementara itu, ketika memproblematisasi pandangan penafsir kontemporer atas tekstualitas al-Quran, penulis mengklaim superioritas bahasa Arab (lihat hal. 130). Namun, ketika argumen itu dibaca, beberapa pertanyaan muncul atas klaim-klaim penulis seperti, darimana sumbernya yang mengatakan bahwa; Adam berbahasa Arab? Di surga itu akan memakai bahasa Arab? Bahasa Arab adalah induk dari semua bahasa? Bahasa Arab adalah bahasa tertua? Kalau Adam manusia pertama dan berbahasa Arab, lalu kenapa orang-orang purba itu memakai bahasa atau tulisan yang berbeda-beda?

     Lebih lanjut, penulis menolak keras hasil dari penafsir Muslim kontemporer-liberal dalam mempermasalahkan kedudukan perempuan dibandingkan laki-laki dalam Al-Qur’an. Misalnya, dalam menolak kasus porsi warisan, penulis mengedepankan perspektif fisiologis (karena laki-laki membutuhkan lebih banyak energi daripada perempuan) dan, psikologis (laki-laki menggunakan rasio sehingga bijaksana dan perempuan lebih ke perasaan sehingga lebih emosional dan perempuan dianggap lebih konsumtif sehingga harta itu bisa cepat habis). Berdasarkan alasan fisiologis dan psikologis itu, penulis menganggap pembagian warisan dalam Islam dimana laki-laki mendapatkan jatah lebih banyak daripada perempuan itu dianggap telah sesuai dan benar. Sementara itu, dalam kasus poligami, penulis berargumen bahwa laki-laki memiliki libido yang lebih besar dibanding perempuan. Untuk memperkuat argumenya, penulis hanya menunjukkan dua sampel penelitian yang mendukungnya tapi tidak menunjukkan hasil-hasil penelitian lain secara luas, terutama yang bertentangan dengan itu agar terhindar dari generalisasi atau bahkan stigmatisasi (lihat hal. 141-3).

     Tidak hanya skeptis terhadap penafsir Muslim kontemporer yang memakai metode hermeneutik, penulis juga skeptis terhadap tafsir-tafsir klasik-tradisional karena mereka muncul dalam konteks perdebatan mutakallimun yang penuh dengan kepentingan politik kekuasaan. Apakah ada tafsir yang nir-kepentingan politik sama sekali? Yang menarik, satu-satunya tafsir yang dianggap ideal oleh penulis hanya tafsir modern yang dikembangan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dengan metode al-Adabi al-Ijtima’i-nya. Metode al-Adabi al-Ijtima’i ini sebenarnya juga pendekatan dalam memahami atau menafsirkan sastra Arab yang melihat dari sisi keindahan sastrawi atau bahasa dengan tidak mengabaikan konteks sosial penciptaan sebuah karya sastra. Jadi, metode al-Adabi al-Ijtima’i ini bukan sebuah metode yang otentik untuk menafsirkan al-Qur’an tapi ia diambil dari metode dalam memahami karya satra Arab yang historis dan profan.

     Terlepas dari kritik-kritik penulis terhadap penafsir Muslim kontemporer-liberal terhadap pemakaian hermeneutika al-Quran yang menurut saya sangat subjektif dan apologetik, hermeneutik sebagai sebuah metode filsafat telah menuai banyak kritik. Hermeneutik ini masuk dalam tradisi filsafat posmodernisme. Posmodernisme dianggap mengarah pada liberalisme yang fokus semata-mata pada relativisme (kekaburan) atau subyektifisme, artinya tidak ada kebenaran yang mutlak sama sekali sehingga melahirkan skeptisisme terus menerus, otonomi yang mengarah pada fragmentasi, dan kebebasan absolut sehingga benar dan salah itu tidak ada karena ia tergantung pada permasalahan sudut pandang semata. Oleh karena itu, filsafat posmodernisme ini dianggap anti-obyektivisme yang berakhir pada ketiadaan progress dalam produksi pengetahuan, berputar-putar, andalannya hanya bermain kata-kata atau bahasa, membingungkan, inkonsisten, idealis-subjektif, absurd dst. Oleh karena itu, berdasarkan kritik-kritik terhadap aliran filsafat posmodernisme ini, saya kira terbuka pintu yang lebar untuk mengkritik (men-tahafut) pemakaian hermenutik oleh para penafsir Muslim kontemporer-liberal secara filosofis dan tidak subjektif-apologetik.